Lek Man

Kamis, 20 Juli 2023 12:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konon, iblis akan berusaha sekuat tenaga untuk menggoda manusia yang berbuat baik dengan berbagai cara. Hingga menyisakan sangat sedikit sekali manusia yang benar-benar bisa ikhlas dalam perbuatan baiknya.

       Kampung yang sangat asri dan damai itu bernama kampung Sidomukti. Kampung yang profesi utama penduduknya mayoritas sebagai petani dan peternak.

 

Adalah Lek Man, lelaki paruh baya yang biasa dipanggil begitu. Nama lengkapnya Adalah Abdurahman, tapi orang-orang di kampung Sidomukti memanggilnya dengan Lek Man. Lek Man sudah 20 tahunan jadi penduduk Sidomukti. Ia bukan asli orang desa itu.

 

Lek Man hidup damai di sebuah gubuk sederhana bersama istri dan kedua anaknya. Di kampung Sidomukti sendiri, Lek Man dikenal sebagai pribadi yang bersahaja dan bijaksana. Orang-orang juga sering menyebutnya sebagai orang pintar, malah ada yang menyebutnya Pak Ustaz, karena Lek Man selalu suka mengajari anak-anak mengaji di surau kampung itu, juga ia pandai mengobati anak kecil yang rewel terkena sawan dengan doa-doanya.

 

Lek Man juga termasuk orang yang paling aktif jika ada kegiatan sosial di kampung Sidomukti. Entah itu kerja bakti, ada orang hajatan, sampai bangun rumah. Misalkan ada orang yang sakit atau ada warga yang meninggal, Lek Man termasuk orang yang akan bergegas membantu di barisan paling depan.

 

Sore itu, selepas mengajar mengaji, Lek Man bergegas untuk makan malam. Kebetulan rumahnya berada tak jauh dari Mushola itu, hanya berjarak sepelemparan baru saja.

 

Sampai rumah ia sudah disiapkan makanan oleh Bu Lek Atun, istrinya. Sedangkan kedua anaknya sudah makan duluan dan tengah belajar di kamarnya masing-masing.

 

"Pak, ini sudah ibu siapkan," kata istri Lek Man sembari tersenyum manis. Begitulah mereka, selalu harmonis meski sudah punya anak dua.

 

Lek Man membalas senyuman istrinya lalu duduk.

 

"Buk e, bapak mau ngomong sesuatu," kata Lek Man pelan. Sembari menyendok nasi dari ceting besar.

 

Istrinya yang tengah melipat baju-baju terhenyak sebentar. Tapi kemudian meneruskan pekerjaannya lagi.

 

"Tentang yang kemarin, ya, Pak?" tebak istrinya.

 

Lek Man mengangguk kecil.

 

"Ya kalau memang itu sudah keputusan Bapak, ya, nggak apa-apa. Ibu hanya manut saja, Pak. Apapun keputusan Bapak, pasti ibu dukung," kata istrinya lagi.

 

Lek Man menatap istrinya sambil tersenyum, "Kamu memang istri yang Sholehah, Bu. Beruntung bapak bisa dapat istri seperti kamu."

 

"Halah, gombalnya mulai, deh, Bapak ini."

 

Lalu mereka tertawa bersama.

 

Usai tertawa, Bu Lek Atun berkata lagi, "Lha memang masih kurang banyak to, Pak, dananya? Kampung kita ini kan juga banyak juragan-juragan tanah dan sawah luas. Mereka memang nggak nyumbang?"

 

"Yah yang kaya ya banyak, Bu. Tapi ya tahu sendiri orang-orang kampung sini. Besok diadakan rapat di desa, buat bahas lebih lanjut. Semoga saja banyak yang sadar dan mau mengeluarkan uangnya." tukas Lek Man.

 

Bu Lek Atun hanya manggut-manggut saja.

 

***

 

       Ceritanya, di kampung Sidomukti ada sebuah Mushola yang hendak direnovasi. Pak Mahmud, kepala desa itu yang mengusulkan, tentu juga atas masukan-masukan dari para warga. Mushola itu sudah tidak begitu muat menampung jamaah, beberapa atap sudah lapuk dan tembok juga sudah mulai retak-retak, maka itulah rencana renovasi mushola itu tengah digalakkan.

 

Banyak yang tidak tahu, bahwa tanah mushola itu adalah hasil wakaf dari Lek Man. 20 tahun yang lalu, saat ia baru datang ke kampung ini. Uang pembangunannya pun setengah lebih juga dari Lek Man. Beberapa rumah yatim di desa Sidomukti, Lek Man jugalah salah satu donatur tunggalnya.

 

Lek Man sebenarnya adalah orang yang cukup berada. Selain orang tuanya dulu adalah juragan tanah juga Lek Man punya usaha beberapa di kota yang dikelola oleh orang kepercayaannya. Kemudian beberapa puluh tahun yang lalu, setelah ia sudah bosan dengan gelimangan harta di kota, ia ingin hidup zuhud di desa. Dan Sidomukti lah pada akhirnya yang menjadi tujuannya.

 

Semua rahasia ini ditutupnya rapat-rapat, tidak ada orang yang tahu kecuali istrinya saja. Ia tidak ingin kebaikannya di Sidomukti terbongkar. Itu tidak penting. Biarlah ia dikenal sebagai Lek Man seorang marbot masjid sekaligus tukang ngajar ngaji saja. Padahal Lek Man adalah orang yang sangat berjasa di kampung itu, tapi tidak ada orang yang tahu selain istri dari Lek Man sendiri.

 

Dan malam ini. Ia meminta persetujuan istrinya lagi untuk ikut membantu renovasi mushola itu. Setiap membantu, Lek Man tidak pernah jujur bahwa itu adalah uangnya. Ia selalu bilang bahwa ada seorang kenalan di kota yang ingin membantu, padahal itu uang Lek Man sendiri.

 

Begitulah. Sampai kemudian tibalah malam itu. Lek Man dan banyak anggota lainnya tengah rapat membahas perluasan mushola di desanya.

 

Lek man tidak banyak bersuara, hanya mencoba menyimak saja diskusi para warga dan usal-usul mereka.

 

Namun saat tiba pada perluasan buat lahan parkir calon jamaah nanti, ada sedikit kebuntuan. Pasalnya, kalau Mushola hendak diperluas, otomatis akan memakan lahan di depan yang biasa buat parkir. Sedangkan kalau lahan parkir hendak diperluas, tanah di depan sudah bukan lagi bagian mushola itu.

 

Usman, salah satu warga yang sedari tadi cukup aktif mengusulkan ini itu membuka suara,"Lebih baik mushola tidak usah diperluas, tapi dana yang ada digunakan untuk perbaikan-perbaikan yang butuh diperbaiki saja."

 

Kosim, warga desa tak mau kalah juga, "Tidak bisa, Pak Usman. Mushola kita sudah terlalu sempit. Harus ada perluasan."

 

Disusul Pak Amir, si juragan penggilingan padi di desa itu, "Kalau misalkan beli tanah milik Juragan Darno dana tidak cukup, tahu sendiri dia tidak mau kompromi, pasti dikasih harga mahal. Apa lebih baik ditingkat saja, lebih memakan sedikit biaya daripada beli tanah milik Darno."

 

Darno adalah warga desa Sidomukti juga awalnya. Terkenal sebagai juragan tanah di mana-mana, tapi ia tidak tinggal di Sidomukti lagi. Orang-orang desa Sidomukti sudah paham akan karakter kikirnya. Dia tidak pandang bulu bahwa tanahnya mau buat mushola atau bukan, pasti ia hargai dengan sama-sama mahal.

 

Setelah hening sesaat karena kebuntuan, Lek Man bersuara. Dari tadi ia belum mengusulkan satu patah kata pun, kali ini ingin ikut berpartisipasi.

 

"Lebih baik dibeli saja. Meski harganya lebih mahal, daripada di tingkat nanti malah harus memperkuat kuda-kuda lagi dan membutuhkan proses lebih lama. Kenanya akan mahal juga," kata Lek Man. Diam-diam Lek Man sudah mempersiapkan salah satu aset yang ia punya untuk membantu.

 

"Beli gimana, Lek. Pakai uangnya Mbahmu apa? Sudah dibilang dananya tidak cukup," timpal Sutardji.

 

Lek Man mengelus dada sebentar. Sebelum ia ingin bersuara, suara Tardji terdengar lagi.

 

"Sampeyan lebih baik diam saja, Lek. Orang nggak ikut urun dana ini, dikira cari uang gampang. Sampeyan fokus saja nanti bersih-bersih mushola kalau sudah jadi," ujar Tardji.

 

Suasana makin panas. Beberapa orang sependapat dengan Tardji. 

 

"Iya Lek, nggak usah ikut-ikutan. Lagi pula sampeyan bukan warga asli sini, nggak tahu sifat asli si Darno kaya apa."

 

"Iya Lek. Mending diam."

 

"Nggak usah ikut-ikutan, Lek."

 

Terdengar banyak orang yang ikut-ikutan meremehkan Lek Man.

 

Sebaik apapun Lek Man, ia tetaplah manusia. Diperlakukan sedemikian rupa, emosinya meledak juga.

 

"Aku usul begini bukan modal omongan aja, ya, semua! Kalian tahu, tanah siapa mushola ini? Kamu tahu setengah lebih biaya dulu waktu bangun punya siapa? Kalian tahu perbaikan-perbaikan kecil selama ini siapa yang menanggungnya? Kalian juga tahu, siapa yang menjadi donatur anak yatim di yayasan desa ini juga para janda tua? Siapa? Itu semua uangku. Yang selama ini aku bilang bantuan dari orang kita kenalanku itu hanya bohong, itu sebenarnya uangku sendiri. Sekarang biar kalian tahu, jadi jangan remehkan aku lagi!" Terengah-engah lah Lek Man sembari berkata sangat keras dengan para warga.

 

Para warga seketika membisu. Hanya beberapa orang kasak-kusuk di barisan belakang.

 

Lalu Lek Man seperti tersadar akan apa yang sudah dilakukannya. Masih dengan Terengah-engah ia memejamkan mata. Ada rasa sesal yang sangat ia rasakan kemudian. Lalu ia pergi tanpa mengucapkan pamit satu patah pun.

 

Jebol lah sudah pertahanan Lek Man selama ini. Kata-katanya tidak bisa Lek Man kontrol lagi. Yang selama ini ia mati-matian jaga agar jangan sampai orang tahu akan kebaikannya, pupuslah sudah, tak tersisa.

 

Dalam kesunyian, setan tengah terbahak-bahak, iblis terlonjak-lonjak. Hancurlah segala kebaikan Lek Man dalam sekejapan mata.

 

***

Tamat.

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asmaraloka Dewangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pahlawan

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB
img-content

Nggak Bahaya, Ta?

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua